Aktifitas manusia dibelahan dunia yang menyita banyak waktu dari berbagai urusannya, maka ketika akan bertemu dengan bulan yang mulia, bisa dipastikan ada yang berucap, “kayaknya baru kemaren ramadhan, udah mau ramadhan lagi!”.
Mungkin kata-kata itu menjadi perwakilan dari kalimat yang semisal, merasa heran seperti waktu setahun berjalan begitu cepat. Tamu itu kembali datang menyapa manusia yang merasa punya kewajiban memuliakan tamunya. Dia mengetuk di setiap pintu rumah kaum muslimin, akankah ada penghuni rumah yang bersedia memuliakannya seperti tahun-tahun lalu? Ataukah dikalahkan oleh urusan dunia yang semakin menumpuk?
Namun,
banyak macam manusia memperlakukan tamunya dengan cara yang menurut mereka baik. Atau memperlakukan tamu seolah tidak ada tamu yang datang. Maka muncullah klasifikasi yang ditelurkan dari fakta nyata bagaimana kaum muslimin menyambut tamu itu hingga ia pergi. Secara garis besar ada tiga macam muslim dalam memuliakan tamu agung ini.
Pertama: Ia sangat gembira dengan kedatangan tamunya. Bahkan berhari-hari sebelum kedatangannya ia persiapkan segalanya untuk menyambut dengan baik agar tidak mengecewakannya ketika nanti berpisah. Inilah yang dicontohkan oleh Rasul dan para sahabatnya. Mereka menyambut dengan suka cita, sering berpuasa sebelumnya dan melakukan ibadah yang dianjurkan pada bulan Sya’ban.
Nabi adalah manusia yang begitu semangat sebelum ramadhan tiba. Ketika bulan itu datang, maka beliau lebih semangat lagi dari sebelumnya. Dan jika masuk pada 10 akhir dari bulan ramadhan, beliau lebih meningkatkan lagi semangatnya. Dan jika dimalam lailatul qodr tiba, kesemangatan beliau lebih besar lagi dari sebelum-sebelumnya.
Inilah hakekat pribadi mukmin yang sebenarnya. Begitu tahu akan mendapati waktu dan tempat yang mendatangkan banyak pahala, maka mereka begitu antusias menyambutnya. Tidak ada kata untuk melewatkannya. Dan tidak ada yang mampu menghalangi mereka berjibaku dalam kesibukan memuliakannya. Apa saja jalan menuju cinta-Nya, walaupun itu membuat orang merasa kasihan jika melihat mereka, tetap mereka jalani dengan sepenuh hati.
Kedua: orang yang hanya ikut-ikutan semangat ketika ramadhan tiba. Semua tampilan dari pakaian sampai musik berbau Islami. Merasa mereka wajib kembali kepada Allah hanya ketika ramadhan saja. setelahnya, kembali ke aktifitas maksiat. Dan orang seperti ini seolah tidak enak kalau tidak shalat tarawih atau mengaji minimal satu sampai dua ayat. Atau juga tidak enak jika disebut orang yang tidak menghormati ramadhan. Maka bisa dibuktikan dari banyaknya jamaah. Antara jamaah shalat maghrib dan isya’.
Hampir semua masjid penuh terisi oleh jama’ah dadakan. Baik dari laki-lakinya maupun perempuan. Namun penuhnya jama’ah ternyata hanya minggu awal saja. pada minggu selanjutnya shaf shalat semakin naik hingga mungkin sampai setengah shaf saja. lalu kemana jamaah dadakan? Mereka hanya dadakan, dan ikut-ikutan. Semangat diawal, dan sampai dipertengahan seperti daun yang berguguran dari rantingnya.
Ketiga: orang yang sama sekali tidak berpengaruh akan datangnya tamu Allah. Mereka tidak menjamunya dengan baik. Bahkan tidak merasa bahwa ada tamu agung datang dan mengetuk rumah mereka. Orang ini lebih buruk dari macam manusia sebelumnya. Dia seolah tak mau tahu keutamaan dari bulan yang mulia tersebut. Dia menjadi manusia yang banyak membuang kesempatan berharga, yang jika dibandingkan dengan kesibukan dalam urusan dunianya sama sekali terlihat remeh. Orang seperti ini telah tertipu dengan kesenangan palsu dunia. Merasa bahwa kesenangan didapat dari mengumpulkan banyak harta dan meninggalkan akherat.
“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS. Al-Hadid: 20).
Ini menjadi bahan intropeksi bagi diri kita, dimanakah letak posisi kita sebagai muslim? Apakah kita memuliakan tamu yang sebentar lagi datang dengan baik? Apakah memuliakan tamu hanya sekedar ikut-ikutan, dan setelah tamu meninggalkan pemilik rumah dia berubah drastis, sama seperti sebelum tamu itu datang? Atau kita seperti macam yang ketiga, sama sekali tidak berpengaruh, datang atau tidak datangnya tamu? Padahal bulan ramadhan sangat mempengaruhi pribadi muslim. Menjadi bulan penggemblengan yang ampuh, dan mampu mengubah muslim bermental taqwa.
Maka tamu yang datang hanya setahun sekali ini, sudah barang tentu kita tak tahu akan bertemu dengan tamu agung ini ditahun yang akan datang. Bayangkanlah kita ibarat lilin yang banyak dalam keadaan menyala. Ada yang panjang dan pendek. Manakah yang akan lebih mati awal? Kita biasa menduga bahwa lilin yang akan cepat mati adalah lilin yang pendek. Tapi jangan dikira, bahwa yang panjang pun justru bisa lebih cepat mati dari pada yang pendek. Karena bisa jadi dia tertiup angin kencang lalu mati. Itulah perumpamaan kita.
Bisa jadi kita tidak akan bertemu lagi pada bulan ramadhan setelahnya. Karena tidak ada yang menjamin umur seeorang yang hidup sampai besok. Dan tidak ada yang tahu orang yang lebih muda maut lebih cepat menjemput dari pada yang tua. Jadi, marilah kita jadikan ramdhan ini, seperti kita akan meninggalkannya dan tidak bertemu lagi setelahnya. Dengan ini semoga kita menjadi manusia yang lebih semangat lagi dalam memburu pahala demi mencapai Ridho-Nya.
Wallahu a’lam bisyowab.
Oleh : Rahmat Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar